Thursday, February 19, 2015

Mensos: Potong Saraf Libido Pelaku Pemerkosaan (?)

Kurang Tepat. Mungkin itu kata-kata yang bisa saya kaitakan mengenai judul yang artikel ini. Seperti yang dipublikasi oleh di situs JawaPos National Network yang diterbitkan pada tanggal 19 Febuari 2015 (baca : Mensos: Potong Saraf Libido Pelaku Pemerkosaan), MenSos Khofifah I.P. mengemukakan hukuman tersebut diberlakukan untuk menekan tingkat kasus pemerkosaan yang kian memprihatinkan.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa

Secara umum, sebenarnya saya setuju dengan pemikiran Bu MenSos, tapi mungkin terlalu dini untuk mengemukakannya ke hadapan publik. Mengapa? Tentu saja saya mengacu pada pribahasa "Tidak ada asap kalau tidak ada api".

Ya, saya beranggapan bahwa tingginya kasus pelecehan seksual, khususnya pemerkosaan yang semakin merajalela, tentu ada beberapa alasan atau latar belakang yang menimbulkan perbuatan tersebut.

Sebagai contoh, libido pelaku pemerkosaan tentu muncul setelah adanya rangsangan. Rangsangan yang dimaksud disini bukan harus melalui kontak fisik, namun lebih menekankan pada apa yang dilihat oleh pelakunya. Masalanya adalah, saat ini pelaku dapat dengan mudah mendapatkan rangsangan tersebut dimanapun dan kapanpun. Tentunya, saya tidak serta merta menyalahkan Pihak Pertama, dalam hal ini adalah si pelaku pemerkosaan. Ada Pihak Kedua yang "secara sukarela" memberikan rangsangan tersebut ke pelaku.

Jika dilihat pada kehidupan nyata, khususnya di Indonesia yang berbudaya ketimuran, banyak sekali Pihak Kedua yang secara sengaja atau tidak, seolah-olah memberikan "sinyal positif" kepada Pihak Pertama untuk melakukan tindak asusila. Ironisnya, tidak jarang juga Pihak Pertama justru melakukan aksinya kepada Pihak Ketiga yang terkadang tidak ada sangkut pautnya dalam memberikan "sinyal positif".

Nah, kembali ke usulan Bu MenSos. Kalau memang sanksi ini perlu diterapkan, maka seharusnya Bu MenSos perlu mengkaji atau meninjau mengenai peraturan yang perlu diterapkan kepada Pihak Kedua tadi. Salah satunya adalah bagaimana pakaian yang seharusnya digunakan oleh masyarakat Indonesia di ruang publik. Tidak dapat dipungkiri, saat ini jika kita melihat ke ruang publik, seperti mall, sekolah, tempat bermain, bahkan di dalam tanyangan televisi, ada begitu banyak Pihak Kedua yang memberikan "sinyal positif". Demi mendapat predikat cantik, trendy, modern, fashionable, atau apapun itu, mereka rela meninggalkan cara berpakaian adat ketimuran sehingga tidak jarang Pihak Pertama menujukan pandangannya ke mereka. Kalau hanya sekali dua kali, menurut saya tidak ada masalah. Namun coba bayangkan jika pemandangan tersebut terjadi hampir setiap saat. Tentu saya tidak terima kalau akhirnya Pihak Pertama yang selalu disalahkan. Apalagi sanksi dari Bu MenSos tidak main-main resiko dan akibatnya terhadap Pihak Pertama.

Karena itu, alangkah baiknya jika Pemerintah Indonesia membuat sebuah peraturan mengenai tata cara berpakaian di ruang publik. Hal tersebut mungkin bisa menjadi langkah awal untuk menekan tingginya tingkat pemerkosaan, sebelum benar-benar menerapkan sanksi pemotongan saraf libido.

Terima kasih. :)

No comments:

Post a Comment